Oleh : [Kiki] Rakhmawati Z
rakhmawati.zaki@gmail.com

Sunday, June 12, 2011

Berdakwah Sesuai Kompetensi Diri


Apa itu dakwah ?

Dakwah, apa yang kita ketahui tentang dakwah ? berbicara di depan jamaah ? dilakukan oleh ustadz dan ustadzah ? Bagi sebagian orang, berdakwah adalah berbicara di depan banyak orang dan dilakukan oleh ustadz dan ustadzah, lalu apa peran orang-orang yang belum memiliki kapasitas seorang ustadz dan ustadzah (alim)… apakah harus melulu mencari ilmu dengan menjadi bagian dari jamaah tanpa mencoba berusaha menyampaikan ilmu yang diketahuinya… bukankah Rasulullah memerintahkan kita untuk menyampaikan kalimat-kalimat Allah di muka bumi.

Apa urgensi dakwah ?

Mengapa dakwah itu penting, karena melalui dakwah manusia akan saling berinteraksi untuk menasehati antara satu dengan yang lain dalam hal kebaikan. Sehingga terwujud tujuan bersama yaitu mencapai ridha dan syurga Allah. Dakwah diwajibkan bagi setiap muslim, baik dilakukan secara individu maupun jamaah.

1. Berdakwah secara individu

Berdakwah secara individu bisa dilakukan dengan berbagai cara tergantung pada kemampuan masing-masing personal. Ketika seseorang memiliki kompetensi berbicara di depan banyak orang dan berpengaruh  dilingkungannya, hal tersebut merupakan potensi besar bagi ladang dakwahnya di dunia dalam pencapaian pahala. Sebaliknya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi, walaupun hal tersebut sebenarnya bisa di latih ! bisa melakukannya melalui pendekatan personal (liqo, halaqoh atau face to face). Seorang sahabat menginspirasi saya melalui sebuah sms : jika mampu maka jadilah seorang alim (berilmu), jika tidak mampu maka jadilah seorang penuntut ilmu, jika tidak mampu maka cintailah mereka, dan jika tidak mampu makan jangan sekali-kali membenci mereka (Bimbi Ariza). Mungkin pesan tersebut sudah menyebar dan sudah umum dikalangan kita, yang perlu diperhatikan adalah terdapat makna yang cukup mendalam yang memunculkan inspirasi kreatif dalam gerak dakwah di dalam kalimat tersebut. Pendekatan secara personal bisa dilakukan terhadap teman-teman dekat yang memiliki kecenderungan untuk di ajak kepada arah kebaikan (Mualaf). Bukankah Rasulullah bersabda;

“sampaikanlah walaupun satu ayat”

Lalu mengenai tanggapan orang tentang apa yang kita sampaikan di mana kita belum bisa melakukannya, apa yang harus kita lakukan ?

“janganlah mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan” 

kita bisa menyiasatinya dengan sembari melakukan perbaikan diri, tetapi usahakan untuk tidak mengatakan sesuatu yang tidak kita lakukan, karena hal tersebut justru akan membuat orang yang kita ceramahi menjadi kecewa terhadap sikap kita. Kalaupun tidak bisa menyampaikan karena tidak enak (pekewuh), berusahalah untuk menunjukan kebaikan Islam melalui sikap, mungkin bisa dilakukan dengan membantu teman yang dalam kesulitan, berbagi rizki, tersenyum ramah, mudah memaafkan dan lain sebagainya, insya Allah mereka akan melihat kebaikan Islam dalam diri kita.

2. Berdakwah secara komunal (jama’ah)

Berdakwah secara komunal memiliki potensi lebih besar akan pengaruhnya di masyarakat, tetapi pendekatan secara komunal juga tidak terlepas dari pendekatan personal. Pendekatan personal merupakan mainstraim metode dakwah Rasulullah walaupun pendekatan secaar jama'ah juga dilakukan. Pendekatan secara personal memiliki pengaruh dan kekuatan yang lebih besar dalam meyakinkan seseorang tentang nilai-nilai ajaran Islam,  tetapi hal tersebut tentu akan menjadi lebih efektif ketika didukung dengan pendekatan secara komunal yang terorganisir.

“dan hendaklah di antara kamu ada seorang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”(QS Ali Imron : 104)

Tuntutan dakwah Rasulullah

Ada beberapa tuntutan yang menjadi dasar metode dakwah Rasulullah :

1. Tujuan, dakwah hendaknya dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki keadaan, yaitu mengubah system yang ada sekarang menjadi sebuah system kehidupan yang berlandaskan pada Islam 
2. Target, dakwah dilakukan dengan menyampaikan hal-hal yang berpengaruh terhadap dasar / prinsip pandangan seseorang dalam menilai kehidupan
a) Mentauhidkan Allah
b) Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin,
c) Islam sebagai panduan hidup
d) Tercapainya ridha Allah
3. Tahapan dakwah
a) Pembinaan (Tasqif), menyiapkan individu-individu yang siap untuk berdakwah kepada masyarakat
b) Interaksi dengan masyarakat (Tafa’ul), menyiapkan masyarakat untuk menerapkan system kehidupan Islam
c) Penerapan hukum Islam (Tautbiq), menerapkan hukum Islam secara menyeluruh

Dakwah hendaknya dilakukan kepada keluarga terlebih dahulu, karena bagaimana kita bisa mendakwahi orang lain sedangkan keluarga kita sendiri saja tidak bisa dijadikan sebagai panutan. Begitupun Rasulullah, ketika Rasulullah mendapat wahyu untuk pertamakalinya, istrinyalah (Khadijah) yang menjadi target utama dakwah beliau. Dilanjutkan Ali Bin Abu Thalib yang merupakan putra pamannya yang di asuh oleh beliau sejak kecil, kemudian Zaid Bin Haritsah seorang budak yang dihadiahkan kepada Rasulullah oleh Khadijah, lalu Abu Bakar dan sahabat-sahabat lainnya. Dalam dakwah Rasulullah tidak memandang kedekatan kekeluargaan, tetapi lebih pada kedekatan ikatan (sahabat) karena hal tersebut di anggap lebih efektif dan lebih mudah di terima. Perjuangan dakwah Rasulullah di Madinah telah berhasil membentuk sebuah Negara Islam yang menerapkan system kehidupan dengan berlandaskan pada aqidah Islam. Ekspansi dakwah selanjutnya dilakukan di Makkah dengan system legislasi (politik) dan kenegaraan, begitu pula dengan negara-negara lainnya, hingga pada ahirnya terbentuk Khilafah (Negara Islam) yang menaungi negara-negara di Jazirah Arab. Islam merupakan sebuah konsep kehidupan, sungguh indah ketika dunia baru Islam bisa bangkit kembali seperti masa kejayaan jaman kekhilafahan :) Islam will dominate the world, insya Allah...

Berdakwah sesuai dengan kompetensi diri

Mari berdakwah sesuai dengan kompetensi diri, semampu kita, sebisa kita, dengan mendudukkan mereka sesuai pada tempatnya. Misal : tidak menggurui yang lebih tua, tidak ekstrim (memaksa teman untuk berjilbab), tidak sok tau, dan lain sebagainya. Tidak menempatkan diri sebagai seorang “ustadz” atau “ustadzah” ketika ilmu kita memang belum mencukupi. Merendahlah… karena sesungguhnya dalam predikat tersebut terkandung beban dan amanah yang lebih berat. Bukankah Allah membebankan kepada kita sesuatu hal yang kita mampu menyelesaikannya… Ketika Allah berikan sebagian ilmunya kepada kita, sampaikanlah… Sampaikanlah sebisa kita menyampaikannya… Sepengetahuan kita... Dengan cara apapun selagi tidak menyalahi syari’ah.

“Dalam berdakwah, kita tidak dituntut untuk menarget bahwa seseorang yang kita dakwahi harus mengikuti ajaran yang kita sampaikan, karena yang memiliki kewenangan untuk memberikan hidayah adalah Allah” (Ustadz Cahyadi, Mardliyah, 11 Juni 2011)

Kita hanya menjadi perantara untuk menyampaikan, karena dengan menyampaikan saja kita akan mendapatkan pahala besar di sisi Allah, apalagi ketika kita memberikan pengaruh besar kepada orang yang kita dakwahi sehingga dia mengikuti apa yang kita ajarkan. Subhanalllah…

Sebuah kisah mengisnpirasi saya dalam kajian di Masjid Mardliyah pagi tadi (07.00-08.15) oleh Ustadz Cahyadi Tjakariawan dengan tema “Membuka Ladang Dakwah Baru”, kebetulan Ustadz Cahyadi adalah salah seorang anggota DPD  di Yogyakarta yang sekaligus merangkap sebagai seorang Ustadz dan penulis, ada seorang ikhwan bertanya “bagaimana cara ustadz melakukan dakwah dilingkungan politik yang kita tau bahwa lingkungan politik merupakan lingkungan yang dipandang sebagai lingkungan kotor ?” kira-kira begitu pertanyaannya. Lalu ustadz menjawabnya dengan kisah yang (menurut saya) cukup menarik dan mengena di hati J. Alkisah, Ustadz Cahyadi memiliki seorang staff  pribadi lulusan dari pesantren (kalau tidak salah dari pesantren yang sama dengan sang ustadz) yang selalu memanggil beliau dengan sebutan ustadz di kantor hingga staff-staff lain di dalam ruangan dan di luar ruangan ikut memanggil beliau dengan sebutan ustadz. Lalu ustadz mengatakan kepada staff-nya, “antum panggil-panggil saya ustadz tapi ngga ngaji sama saya, ayo ngaji sini”, dan sang staff pun mengaji pada ustadz, lambat laun staff lain di dalam ruangan tersebut ikut mengaji pada sang ustadz hingga ahirnya diputuskan untuk mengadakan kajian setiap hari rabu pagi sebelum jam kerja di mulai. Dan subhanallah… Kajian rabu ahirnya juga diikuti oleh staff-staff dari ruang lainnya.

Pada intinya dakwah tidak harus dilakukan dengan duduk di depan jama’ah, senyum pun bisa di nilai sebagai dakwah jika diniatkan dengan niat untuk berdakwah. Tetapi alangkah lebih baik ketika kita terus berusaha memperbanyak ilmu dan menyampaikannya kepada yang tidak tahu. Allah sungguh Maha Pemurah, selamat berdakwah kawan ! semoga menginspirasi… ^___^

Sumber :
Kajian bersama Ustadz Cahyadi Tjakariawan
Masjid Mardliyah
Sabtu, 11 Juni 2011
dan Halaqoh bersama Ammah Vivi

No comments:

Post a Comment

Let make a friend, be closer with silaturahim... trust that someday Allah will unite us :DDD