Oleh : [Kiki] Rakhmawati Z
rakhmawati.zaki@gmail.com

Tuesday, June 12, 2012

Birul Walidain

Dua bulan sudah aku tak melihat wajah Mamah dan Abah, rasanya rindu... Rindu melihat senyum kasih sayang mereka. Tulang punggung ini akan menegak dengan sendirinya, otak ini akan terpicu untuk memunculkan ide-ide kreatif dengan begitu cepatnya, senyum ini akan mengembang semaksimal bibir ini bisa melebarkannya, dorongan semangat ini akan muncul tanpa di minta, dan perasaan untuk terus berjuang ini akan memuncak seketika, ketika melihat senyum kasih sayang mereka. Kini, waktu untuk pulang menjadi amat sangat berarti. Kini, saat-saat bersama keluarga menjadi ladang pahala yang tiada terganti. 

Bulan lalu Umi tidak mengizinkanku pulang. Setiap kali aku menyampaikan keinginanku, Umi selalu mengatakan “jika ingin pulang hanya sekedar untuk melepas kangen, tidak perlu” jawab beliau tegas. Saklek, keras, tegas tapi mendidik itulah beliau. Beliau adalah guru yang tidak ada duanya. Ilmunya begitu dalam dan perjuangannya dalam mendidik anak-anak begitu keras namun penuh kasih sayang. Demi mensyi’arkan Islam, mempertahankan sekaligus mencetak generasi-generasi rabbani.

(tersenyum) aku menyadari, inilah jawaban do’a yang selama ini kuminta. Ahirnya aku dipertemukan juga dengan guru seperti beliau. Mendapat didikan dari sosok yang tegas dan keras adalah keinginan yang sudah sejak lama terpendam. Selama ini aku hidup dalam keluarga yang hangat dan penuh kelemah lembutan. Mamah adalah stereotype ibu yang sangat penyayang dan sabar, sedang Abah adalah sosok yang bijaksana, tegas namun penuh kasih sayang. Tak pernah kudengar Mamah dan Abah berteriak lantang, tak pernah kudengar mereka memarahiku. 
***
Pemandangan hijau sejauh mata memandang terus bergerak mengiringi perjalanan bus yang kutumpangi. Indah. Semakin rindu akan suasana kampung halaman yang asri dan menyejukkan. Ahirnya Umi mengizinkanku pulang. Beliau pasti menyadari rindunya aku pada kedua orangtuaku.

Di ahir perjalanan, kutatap langit yang mulai menggelap. Kulihat sekelebat cahaya terpancar di atas sana, tapi tak ada suara gemuruh yang mengikutinya. Layaknya hatiku yang sering kali berbisik dengan sangat cepat, tetapi mulut terkadang tidak bisa mengungkapkannya seutuh hati berbicara, bahkan terkadang tak terucap sama sekali. 
***
3 malam di rumah, benar-benar kumaksimalkan. Karena tak tau lagi kapan aku bisa memberikan pelayanan terbaik pada kedua orangtuaku. Selagi raga ini masih kuat, selagi orangtuaku masih bisa kutatap, selagi Allah belum memisahkan kami dan memanggil salah satu dari kami untuk pulang ke rumah-Nya, tentu saja raga ini harus berusaha semaksimalnya. Kawan, beberapa waktu lalu seorang teman berkisah tentang sahabatnya yang belum bisa memenuhi permintaan ibunya hingga ibunya meninggal, padahal permintaan itu adalah permintaan yang sangat sepele dan sangat mudah dilakukan, tetapi dia selalu menundanya karena menurutnya permintaan tersebut begitu mudah dikabulkan. Tetapi apa daya, ternyata Allah sudah terlebih dahulu memanggil ibunya. Hingga ahirnya sang anak amat sangat menyesalinya, tapi tangisnya sudah tak berguna, dan beliaupun berpesan: selagi orangtua masih ada, jagalah mereka, rawatlah mereka, layanilah mereka dengan pelayanan yang terbaik, berbicaralah sepelan dan selembut yang kamu bisa. Seperti kisah sahabat, beliau ketika berbicara kepada ibunya begitu lembut dan pelan, hingga orang-orang mengira beliau sakit. Padahal itu adalah bentuk kehati-hatian sikap beliau karena beliau begitu takut perkataannya akan menyakiti ibunya. Subhanallah...

Sehari menjelang keberangkatan, Abah kontrol karena beliau merasa tidak enak badan. Ingin sekali selalu berada di dekat mereka, merawat mereka, melayani mereka, tapi apa daya, masih banyak tanggung jawab diluar sana yang harus diselesaikan. Sampai hari itu tiba, aku berat untuk mengatakan bahwa aku harus berangkat. Abah memintaku untuk menunda, dan permintaan Abah tak bisa kutolak, antara sedih dan bimbang. Sedih karena tak tega meninggalkan Abah, bimbang karena batas perizinanku sudah habis. “keep stay...” batinku mengatakan. Umi pasti memahami keadaanku. Bahagia sekali berada disamping mereka, bercanda tawa sembari makan bersama, saat-saat yang kini sudah sangat sulit kutemui.
***
“selamat bertholabul ilmi, semoga Allah melindungimu, dimudahkan, dilancarkan, manfaat dan diberi kesuksesan dunia ahirat” kubaca pesan singkat dari Abah lalu kupalingkan wajahku keluar, kupandangi hijaunya pemandangan yang berjalan mengiringi keberangkatanku, kulebarkan senyumku dan kukatakan pada diriku “selamat mengejar kesuksesan! Bersihkan dia dari niat-niat keduniaan! Bismillah”
***
Kawan, dunia adalah ladang pahala, tempatmu bercocok tanam. Yakinlah akan hari kebangkitan itu, maka semangatmu untuk meraih pahala dan berinvestasi untuk ahirat tidak akan menjadi sesuatu yang berat untuk dikejar \(^_^)/ Allah selalu bersama kita.
______________________
Rumah tarbiyah, Yogyakarta
Selasa, 12 Juni 2012
Semangat mengabdi...!

2 comments:

  1. Keluarga adl yg utama dlm hidup ini :). smg diberikan kekuatan utk bisa selalu Birrul Walidain,,Aamiin.

    ReplyDelete

Let make a friend, be closer with silaturahim... trust that someday Allah will unite us :DDD