Kategori: Cerpen Islami
Karya: Qiela Monaza Al’Adwa
Wajah ‘Aisya berbinar sekaligus
terharu ketika Teh Nini memeluknya erat dengan senyum ala bidadari syurga.
Cantik. Harum. Sejuk dipandang. “Subhanallah...” batin ‘Aisya. Ahirnya ‘Aisya bertemu juga dengan sosok yang sudah
sejak lama dia kagumi. Teh Nini. Istri seorang Da’i muda yang sempat naik daun. “Alhamdulillah...” ucapnya sekeluarnya dia dari sebuah
Masjid.
Dalam hati, ‘Aisya berkata pada
dirinya sendiri, bahwa setiap wanita pada dasarnya bisa menjadi bidadari di
dunia sekaligus di syurga. Pesona tersebut akan keluar dengan sendirinya.
Anugerah yang memang Allah karuniakan kepada wanita-wanita shalihah perindu
syurga. Satu pelajaran berharga diperoleh ‘Aisya hari ini. Berkat pertemuannya
dengan wanita yang dia rindukan sejak lama. Sekalipun dia sering memandangnya
dalam majlis taklim yang pernah di ikutinya. Tapi kedekatannya hari ini
memberinya pelajaran berharga yang tidak mungkin secara kebetulan
di dapatkannya.
Sudah hampir sebulan ini ‘Aisya
tinggal di Kota Kembang. Paris Van Java. Pusat fashion Indonesia masyarakat
mengenalnya.
Sejak menjejakkan kakinya di Kota
Kembang, ‘Aisya sudah memantapkan tekadnya untuk belajar dan meraup pengalaman.
Pasca kelulusannya dari sebuah universitas negeri di Kota Pelajar, ‘Aisya mulai
menyadari perjuangan kehidupan yang sebenarnya. Kekhawatirannya akan semakin
berkurangnya umur, bertemunya dia dengan kedewasaan, dan semakin banyaknya tanggungjawab
baru yang lebih berat yang harus dia emban yang semakin dirasakannya, membuatnya
semakin semangat untuk belajar dan terus belajar. Facing the real world.
Pagi itu ‘Aisya bersiap untuk pergi.
Hampir sebulan dia tinggal, tapi dia sama sekali belum pernah mengunjungi
Ponpes tempat bidadari cantik itu tinggal. Padahal keinginan itu sudah terucap lama
sejak dia memutuskan untuk pindah. Tanpa tau arah, dia memberanikan diri untuk
berkunjung. Bersilaturrahim. Bersama dua rekannya yang lain yang kebetulan akan
pergi jalan-jalan, dia berpamitan kepada pemilik asrama tempat dia tinggal.
“Ayo ikut”, ucap Bapak paruh baya
yang tidak lain adalah Pak Tampubolon, Executive Manager tempat ‘Aisya menimba ilmu
selama beberapa waktu ke depan ketika dia dan dua rekannya berjalan menuju
tempat dimana delman mangkal. Terlihat dua anak laki-laki lucu dan seorang
wanita cantik di dalam mobil elegan berwarna silver yang dibawanya.
Sejak awal, ‘Aisya mendapati bahwa
pimpinannya adalah seorang yang baik sekalipun originaly dia adalah seorang batak. Tanpa malu-malu ‘Aisya dan
kedua rekannya pun masuk ke dalam Nisan Livina silver dihadapan mereka, dan di
antarlah hingga ke pusat kota tempat angkot menuju lokasi yang di tuju mangkal.
Mereka cukup dekat dengan sang Bapak. Selain baik, dia juga tak rikuh dengan staff
yang secara struktural berada di bawahnya. Seringali dia manawari untuk
jalan-jalan keliling kota atau menghadiri event-event ala anak muda, tapi
‘Aisya menolak. Dan rekan-rekannya pun menghormatinya. Ketikapun waktu luang
menyapa, ‘Aisya lebih suka menghabiskan waktu luangnya untuk menulis, beraktifitas
ala anak rumahan, dan sesekali berjalan-jalan keluar kota mencari udara segar
atau sekedar mengunjungi sahabat dan saudaranya. ‘Aisya adalah sosok wanita ‘muda’ yang
biasa saja, tapi kepeduliannya akan generasi mendatang begitu menggebu. Dia
ingin menjadi wanita penggubah ‘dunia’ melalui keluarga kecilnya kelak. Sebuah
mimpi besar seorang wanita biasa.
“ ’Aisya nanti pakai angkot elf yang
ke arah kiri, bayarnya duaribu saja”, ucap wanita cantik yang duduk
disampingnya. “Lasta dan Ratu ke arah kanan pake angkot warna telur asin,
bayarnya tigaribu”, tambah wanita itu sembari menyunggingkan senyum. “Hati-hati
ya di jalan”, pesan Pak Tampubolon. Mereka bertiga pun berpisah di persimpangan jalan
layang yang terlihat padat tempat berbagai jenis jalur angkot berlalu lalang.
Mata ‘Aisya berbinar dan hatinya
berbunga ketika dia masuk ke dalam angkot yang akan mengantarnya menuju Ponpes
tempat bidadari yang di idamkannya tinggal. “DT ya Pak”, ucap ‘Aisya pada Pak
Sopir, sopir angkot itu terlihat masih muda. Tetapi urat yang membekas di tangan dan lehernya menampakkan bahwa dia
sudah sejak lama menghabiskan waktunya bekerja keras di bawah terik panas. “DT
disini Neng”, ucap Pak Sopir pada ‘Aisya. ‘Aisyapun menyerahkan selembar uang
duaribuan yang sudah disiapkannya sejak menaiki angkot. “Trimakasih Pak”, ucap
‘Aisya. “Sama-sama Neng”, jawab Pak Sopir ramah.
Neng. Sejak awal sampai di Kota
tersebut, ‘Aisya memang merasa asing dengan sapaan itu. Terlebih lagi bahasa
origin yang tidak dia pahami sama sekali.
Sembari menyusuri jalan lokal yang
dipenuhi oleh pedagang kaki lima, ‘Aisya membenahi kerudung merah maroonnya
yang tersangkut tas hijau army mungil sederhana di lengan kanannya. Gamis putih
gading bercorak kotak merah dan weight
dash berukuran kecil yang dikenakannya adalah hasil karyanya sendiri.
‘Aisya menyukai dunia design. Memiliki butik muslim adalah impian besar ‘Aisya
yang lain. Dia ingin mememperkenalkan karyanya pada wanita-wanita ‘modern’ bahwa
dengan pakaian tertutup pun mereka akan tetap terlihat cantik dan mengagumkan, karena
memakai atribut yang di syari’atkan adalah kewajiban yang tidak bisa ditentang.
15 menit sudah ‘Aisya menyusuri jalan
itu, dan sampailah dia di tempat yang di tuju. Sayup-sayup dia mendengar
ceramah dari dalam masjid bergaya minimalis yang akan dimasukinya. ‘Aisya pun
melihat jam di tangan kirinya, pukul 10.30. “Bismillahirrahmaanirrahiim...”
ucap ‘Aisya seraya memasuki masjid yang terlihat sangat bersih dan rapi hampir
tanpa cela. Di pintu masuk bertuliskan “batas suci” ‘Aisya mendapati sandal dan
sepatu terjejer rapi. Diapun mampir sejenak di lorong pintu akhwat karena
melihat deretan lembaran pengumuman di lemari terbuka yang memang disediakan
untuk para pengunjung. Tanpa ragu ‘Aisya mengambil lembaran-lembaran itu. Lalu dilanjutkan
dengan menyusuri lorong pendek yang berujung tangga menuju ke lantai dua. Di
bawah tangga terlihat toilet muslimah yang bersih, rapi dan dipenuhi kaca separuh
badan hampir di sepanjang tembok tempat berwudlu. Toiletpun terlihat syar’i
dengan letak kakus yang menyerong ke kanan 45 derajat dari arah kiblat (barat laut.red) sehingga tidak menghadap
atau membelakangi kiblat. Setelah berwudlu, ‘Aisya menaiki tangga menuju ke
lantai dua. Didapatinya ibu-ibu dan wanita muda yang sedang menyimak ceramah dari
seorang ustadz muda yang belum dikenalnya.
Dzuhur menjelang. Jam menunjuk pukul
11.45 dan penceramah mengahiri kajiannya dengan memberikan pengumuman agar jama’ah
bersiap untuk menyambut dzuhur, dan yang membuat ‘Aisya terkejut adalah
pengumuman berikutnya, bahwa pukul 13.00 Teh Nini akan datang. Kebetulan yang
tidak mungkin hanya kebetulan. Kejutan Allah sering kali membuat ‘Aisya berucap
syukur. Sejak mula, ‘Aisya hanya berniat untuk mencari informasi terkait
kegiatan di sana untuk mengisi kebutuhan ruhiyahnya, tetapi Allah sekaligus
mempertemukannya dengan bidadari yang dia idamkan.
Panggilan shalat pun datang. Sebagian
besar jama’ah melakukan shalat qabliyah sebelum iqamah dikumandangkan. Pasca
shalat dzuhur, sembari menunggu kedatangan Teh Nini, jama’ah bertilawah
menggemakan lorong masjid mungil nan bersih yang dipenuhi pelapis kayu di
temboknya. Membuatnya terlihat klasik dan elegan. Hingga terdengar pengumuman bahwa
bidadari yang diidamkan ‘Aisya telah tiba. Gamis biru dongker berpayet bunga
sederhana di bagian bawah yang dikenakannya membuatnya terlihat segar dan
percaya diri. Cantik. Sejuk. Agak lama wanita itu berada dibalik tiang masjid bersama
seorang balita mungil cantik yang membuat wajahnya tak terlihat. Lalu wanita
itupun melangkah ke mimbar kayu bercat coklat dengan tempat duduk rotan dengan perpaduan gaya klasik tetapi terlihat modern di depan jama’ah wanita. “ma’aaaf... cucuuu”, ucap wanita cantik itu
sambil membetulkan posisi duduknya. “Cantik”, gumam ‘Aisya. “Menyejukkan sekali
dipandang, benar-benar bidadari dunia”.
“Asiyah,
The Truly Beauty”,
ucap Teh Nini mengeja. “Susah ya bacanya, maklum saja karena saya belum bisa
bahasa inggris”, tambahnya merendah. Tema inilah yang akan di angkat. ‘Aisya
memperhatikan dengan seksama, dari gaya bicaranya, caranya menyampaikan, dan
gerak-geriknya, memang menandakan bahwa wanita dihadapannya adalah sosok wanita
cerdas lagi lemah lembut. ‘Aisya pun semakin kagum. Pantaslah Teh Nini
mendapatkan sosok Da’i muda yang memiliki keberagamaan kuat dan berwawasan
luas. Tak beda jauh darinya. Dan tentu saja kebersamaan tersebut membuat mereka
semakin kuat mencintai Allah dan saling menguatkan dalam kebaikan.
“Aisyah adalah sosok yang cerdas lagi
tawaddu’ ”, wanita berparas cantik itu menyampaikan dengan intonasi yang
ditekan. Menunjukkan bahwa sang ummul mukminin adalah sosok yang dikaguminya.
“Nabi seringkali mendapatkan wahyu ketika tidur bersamanya”, ucapnya. “Tentulah
ini bukan sebuah kebetulan, tetapi karena Allah tau bahwa Aisyah adalah wanita
cerdas yang memiliki daya ingat kuat dan akan sangat membantu Nabi dalam
menyampaikan risalah, bahkan ketika Nabi wafat, banyak para sahabat yang
menjadikan Aisyah sebagai rujukan”, tambahnya. “Karena beliaulah yang paling
sering bersama Nabi setelah wafatnya Khadijah. Yang memahami betul bagaimana
akhlaq sang Nabi. Yang melihat gerak-gerik Nabi dari bangun tidur hingga tidur
kembali. Bagaimana posisi tidurnya, bagaimana cara mandi janabahnya, bagaimana
cara berwudlunya, bagaimana cara makannya, bagaimana cara shalatnya, dan semua
gerak-gerik selama masa hidupnya”.
“Banyak hadist yang diriwayatkan oleh
Aisyah dibandingkan oleh istri-istri Nabi yang lain, dan itu menunjukkan bahwa
dia adalah sosok yang cerdas dan memiliki daya ingat yang tajam. Beliaupun suka
memuji istri-istri Nabi yang lain, sebuah kisah menunjukkan sifat tawaddu’nya
yang tinggi”, jelas Teh Nini, “yaitu ketika beliau hendak wafat. Ketika itu beliau sakit, dan
dengan usianya yang sudah masuk masa senja, menyadarkanya bahwa waktunya sudah
dekat. Satu-persatu sahabat pun menengoknya dan mendoakannya. Hingga sampailah
salah seorang sahabat. Tetapi Aisyah menolaknya. Karena dia tau bahwa sahabat
yang datang tersebut akan memujinya. Dan dia tidak menginginkan itu. Bahkan dia
berucap bahwa dia ingin menjadi orang yang dilupakan”.
“Aisyah adalah istri Nabi yang
mendapat julukan humaira karena
pipinya yang merah merona walaupun tidak diberi blush on. Selain itu beliau juga mendapat julukan Ashshiddiqqoh yaitu wanita yang
dipercaya seperti ayahandanya Abu Bakar Ashshiddiq, sahabat terdekat Rasul.
Sejak masa kecilnya, dia sudah hidup dalam lingkungan tauhid dan sudah
menampakkan kecerdasannya. Nabi pernah mendatanginya ketika beliau sedang
bermain layaknya anak kecil sebayanya karena memang umurnya ketika menikah
dengan Nabi masih sangat muda, 6 tahun. Nabi melihatnya membawa boneka kuda bersayap.
Lalu Nabi bertanya, “Aisyah, adakah kuda yang bersayap?”. “Bukankah kuda Nabi
Sulaiman memiliki sayap”, jawabnya, dan Nabi pun tersenyum. Dengan umur semuda
itu, beliau sudah memilki pengetahuan dan kecerdasan yang luar biasa”.
Kisah yang paling berkesan bagi
‘Aisya adalah ketika Aisyah mendapatkan ujian fitnah. Walaupun ‘Aisya memiliki
koleksi buku shirah shahabiyah, dia selalu merasa senang walaupun kisah
tersebut sering kali di ulang dalam ceramah yang di ikutinya baik secara audio
maupun visual. Bagi ‘Aisya, kisah tentang para sahabat dan sahabiyah adalah
kisah yang selalu terdengar indah. Teh Nini pun menyampaikannya dalam
ceramahnya. “Ketika itu Aisyah ikut pergi bersama rombongan, ketika dalam
perjalanan, Aisyah pergi ke suatu tempat untuk berhadas. Lalu ketika kembali
dia mendapati kalungnya tidak ada. Diapun kembali ke tempat semula dan
mendapati kalungnya yang tertinggal, tetapi ketika dia kembali ternyata
rombongan sudah tidak ada. Tubuhnya yang kecil membuat penuntun onta yang membawa
Aisyah tidak menyadari bahwa Aisyah belum masuk ke dalam tandu. Hingga ahirnya
diapun tertinggal. Aisyah pun menangis hingga ketiduran. Dan ternyata ada salah
seorang sahabat yang tertinggal di belakang dan dia menemukan ummul mukminin
tertidur. Diapun mengajak Aisyah untuk menaiki ontanya dan menuntunnya, mereka
hanya berjalan berdua, dan Allah menjadi saksi sepanjang perjalanan mereka.
sesampainya di kota, seorang Quraisy memfitnahnya. Hingga tersebarlah berita
itu di kalangan sahabat hingga Nabi. Pada mulanya Nabi tidak terhasut oleh
berita itu, tetapi karena berita tersebut sudah menyebar begitu luasnya ahirnya
beliau terpengaruh oleh kondisi. Hingga beliau mendiamkan Aisyah selama 40 hari
lamanya. Dari sini kita belajar, bahwa Nabi juga manusia biasa yang juga bisa
terhasut layaknya manusia kebanyakan. Hikmah lainnya adalah, bahwa Aisyah,
Rasul dan para sahabat justru lebih sering di uji keimanan dan kesabarannya,
bahwa ujian yang semakin berat akan ditimpa oleh mereka yang semakin
mendekatkan diri pada Allah, sehingga bisa menjadi ibrah bagi umat setelahnya. Hingga ahirnya Allah membela sang ummul
mukiminin melalui firman-Nya”.
Kisah itu selalu terngiang di telinga ‘Aisya. Indah sekali. Betapa mulianya sang ummul mukminin hingga Allah membelanya dan mendokumentasikan dirinya dalam Al-qur’an, Kitab Suci yang hingga kini menjadi acuan dan pedoman hidup jutaan muslim di dunia.
“Ketika Aisyah berumur 4 tahun, Allah mengabarkan Nabi dengan memberikan gambar wajah Aisyah dalam mimpinya dua kali. Dia akan menjadi istrimu kelak. Jibril mengabarkan”. “Subhanallah, betapa mulianya wanita pemilik pipi merah itu. Sang ummul mukminin. Betapa mulianya beliau. Malaikat Jibril yang mengabarkan, pemimpin dari pemimpin para malaikat. Utusan pemilik alam semesta”, batin ‘Aisya.
Keinginan
‘Aisya untuk bertemu dan melihat betapa sempurnanya istri Nabi begitu menggebu,
walaupun ‘Aisya hanya manusia biasa yang masih sangat jauh dari predikat
shalihah, apalagi sempurna.
‘Aisya pun kembali ke asramanya
dengan bahagia. Sepanjang perjalanan tak hentinya ‘Aisya berucap syukur karena dia
mendapatkan pelajaran yang lebih dari yang dia cari. Belum lagi dipeluk oleh
sang bidadari dunia yang dia idamkan sejak lama. Tentu saja, pengalaman ini
akan semakin menguatkan dirinya untuk tetap kokoh menembus zaman. Mendidik Aisyah masa depan.
[09102012]-[06:13-08:59]
Paris Van Java