Sebuah kisah dua wanita yang sangat menginspirasi, semoga bisa membuka mata hati kita akan sebuah keputusan. Keputusan yang sudah menjadi ketetapan, takdir. Yang perlu kita pahami adalah, bahwa kita bisa lari dari dari takdir Allah yang satu menuju takdir Allah yang lain, dengan takdir Allah pula. Dan semoga kita diberi kekuatan untuk terus mengejar takdir baik yang telah Allah tetapkan.
*****
Bahwa ada pilihan-pilihan dalam menyusun cita dan langkah di jalan cinta para pejuang, biarlah kali ini dua orang wanita yang mengajari kita. Wanita pertama bernama Habibah binti Sahl. Inilah Imam Al Bukhari meriwayatkannya. “Sesungguhnya”, kata Ibnu Abbas, ”Habibah binti Sahl istri Tsabit ibn Qais telah menghadap kepada Nabi Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Ia berkata, “Ya Rasulullah, saya tidak mencela akhlaq dan agamanya, tetapi saya tidak menyukai kekufuran dalam Islam.”
Rasulullah Shallaahu A’laihi wa Sallam bersabda, “Maukah engkau mengembalikan kebun-kebuannya?”
Ia menjawab, “Ya..!”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada Tsabit, “Ambil kembali kebun itu, dan Thalaq-lah isterimu satu kali!”
Dalam redaksi yang lain, Habibah bercerita banyak tentang sebab keinginannya bercerai dari Tsabit. Habibah berkata kepada Rasullullah, “Tampaklah apa yang tidak aku ketahui pada malam pengantin kami. Aku pernah melihat beberapa orang laki-laki, namun suamiku adalah lelaki yang paling hitam kulitnya, pendek tubuhnya, dan paling jelek wajahnya. Tidak ada satu kebagusan pun yang aku temui pada dirinya. Aku tidak mengingkari kebagusan akhlak dan agamanya, Ya Rasullullah. Tetapi aku takut menjadi kufur jika tak bercerai darinya. Aku takut jika terus menerus bermaksiat padanya karena ketidaktaatan pada suami, dan aku tahu itu menyalahi perintah Allah Swt.”
Habibah begitu mengerti akan potensi dirinya. Ia tahu akan resiko yang kemungkinan besar terjadi sebagai konsekuensi dari bertemunya realita kondisi yang ia hadapi dengan watak, sifat, dan karakter dirinya. Maka ia bicara tentang sebuah hak yang memang semestinya ia peroleh.
Ini tidak tercela. Bagaimanapun ada harapan-harapan tersendiri bagi seorang wanita untukmendapatkan suami yang begini dan suami yang begitu. Siapapun tidak berhak mengatakan habibah berselera rendah karena ia menolak Tsabit ibn Qais semata karena alasan fisik. Dan sebenarnya alasannya lebih pada dirinya sendiri yang khawatir kufur pada Allah atas kondisi suaminya. Dalam ungkapan Habibah, “Aku tidak mengingkari kebagusan akhlak dan agamanya, Ya Rasullullah.Tetapi aku takut menjadi kufur jika tak bercerai darinya. “Ada hal lebih besar yang ia takutkan, yakni kufur pada nikmat Allah. Dan durhaka pada suaminya.
Habibah binti Sahl memilih untuk bertaqwa pada Allah dengan meminta cerai dari seorang suami yang sulit diterima oleh perasaannya. Dan itu pun bukan tanpa resiko. Bersuamikan Tsabit ibn Qais dalam bayangannya menuntut kesabaran yang tak tertanggungkan. Tetapi ia juga sadar, hidup tanpa suami membutuhkan kesabaran dalam bentuknya yang lain. Selalu ada ruang, dan ruang itu berisi pilihan-pilihan.
Tetapi, bicara tentang kemuliaan, tentu lebih dari sekedar bicara tentang hak. Inilah kisah tentang wanita kedua. Ada satu kasus menarik dari seorang shahabiyah Rasulullah yang dinikahkan oleh ayahnya tanpa persetujuan dari dirinya. Menarik. Karena ia mengungkap satu pelajaran besar tentang hak wanita untuk menentukan pilihan. Ia memperjuangkan hak saudari-saudarinya itu agar mendapat ketegasan pengakuan dari Allah dan RosulNya. Dan jauh lebih menarik, karena ia mengungkap kemuliaan sebuah kata ridha kepada orang tua,dan keagungan kata sahabat atas ujian . Dengarlah,dalam riwayat Imam An Nasa’i, ‘Aisyah bercerita dalam perasaan yang senada. Perasaan seorang wanita.
“Ada seorang gadis remaja dinikahkan dengan seorang laki-laki. Ia kemudian berkata padaku, “sesungguhnya ayah telah menikahkanku dengan putera saudaranya agar martabatnya dapat terangkat melalui diriku. Tetapi aku tidak menyukainya..!”
“Aisyah lalu berkata, “Duduklah.!” Hingga kemudian, datanglah Rasulullah Saw. Maka aku pun memberitahukannya kepada beliau. Rasulullah lalu mengutus seseorang untuk memanggil ayahnya agar hadir kerumah beliau.
Ketika sang ayah hadir, Rasulullah Saw menyerahkan kembali urusan hal pernikahannya kepada sang gadis . Tetapi gadis itu berkata. “Ya Rasulullah, sebenarnya aku telah ridha akan apa yang dilakukan ayah kepadaku. Hanya saja, aku berkeinginan untuk memberitahukan kepada para wanita, bahwa mereka memiliki hak dalam masalah ini.”
Ada hak dalam menolak pernikahan yang digagas orangtua. Tapi ada kemuliaan dalam mentaati orangtua dan berbakti pada mereka. Wanita agung ini memilih yang kedua. Bukannya tanpa resiko. Karena dalam pernikahan ini ianya harus membangun cinta, mengatur perasaannya dari titik tidak suka. Begitulah. Selalu ada ruang diantara rangsangan dan tanggapan. Dan ruang itu berisi pilihan-pilihan. Maka itulah gunanya misteri takdir. Agar kita memilih diantara bermacam tawaran.
*****
Jumu'ah mubarak, 4 Januari 2013
Rumah Tarbiyah